Saya cukup penasaran dengan nama "Sawunggalih". Siapakah atau apakah
gerangan Sawunggalih itu sehingga identik dengan Kutoarjo? Setidaknya
di Kutoarjo nama Sawunggalih mempunyai kesan pasaran. Maaf bukan
merendahkan. Nama tersebut digunakan sebagai nama sekolah (SMK
Sawunggalih, SD Sawunggalih (?)), politeknik ( Politeknik Sawunggalih
Aji), Hotel (Hotel Sawunggalih), atau nama kereta api (K.A.
Sawunggalih). Terlihat begitu dihormatinya Sawunggalih.
Tidak
begitu banyak referensi mengenai Sawunggalih ini (bagi saya terutama).
Dalam pelajaran sejarah mulai dari SD sampai SMA, tidak pernah sekalipun
disinggung nama ini. Googling di internetpun yang banyak muncul adalah informasi Kereta Api.
Dari
beberapa sumber, akhirnya saya dapatkan bahwa Sawunggalih merupakan
nama seorang Adipati pertama di wilayah Kutoarjo. Koreksi saya apabila
salah.
Kutoarjo sendiri tidak dapat dilepaskan dari Purworejo,
yang sekarang merupakan Kabupaten yang menaunginya. Berikut ini
merupakan asal mula Purworejo dan didalamnya tentunya terdapat juga asal
muasal Kadipaten Kutoarjo. Sekali lagi koreksi saya bila ada yang
salah.
Dasar hari jadi Purworejo adalah dengan ditemukan Prasasti
Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di tepi Sungai Bogowonto, Desa
Borowetan, Banyuurip, Purworejo pada tahun 1890.. Dalam prasasti
tersebut termuat pematokan tanah Shima (perdikan) untuk Desa Kayu Ara
Hiwang yang diberikan oleh Rakai Wanua Poh Sala Putra Ratu Bajra pada 5
Paro Gelap 823 Saka atau 5 Oktober 901 Masehi. Ratu Bajra merupakan
orang kedua di zaman Mataram kuno.
Konon pada waktu itu bumi Kayu
Ara Hiwang mulai dibangun dan dipimpin Mpu Sanghrama Surandra atas
restu Raja Sri Maharaja watukura Dyah Balitung. Atas keberhasilannya
membangun tempat peribadatan, Dyah Balitung merasa bangga dan memberikan
penghargaan tanah perdikan bebas pajak.
Purworejo dahulu
merupakan suatu wilayah yang terkenal dengan sebutan Brengkelan
termasuk wilayah karisidenan Bagelen. Wilayah Bagelen pada abaf XIX
merupakan wilayah Negara Agung Kasunanan Surakarta.
Kondisi
wilayah Bagelen yang kurang Kondusif mendorong pihak Belanda untuk
menentramkan wilayah tersebut dengan meminta bantuan kepada Paku Buwono
VI. Atas perintah Paku Buwono VI maka dipilihlah Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo Kusumoyudho sebagai panglima untuk membantu Belanda menentramkan
wilayah Bagelen. Pihak Belanda menjanjikan kepada KGPH Kusumoyudho
apabila berhasil menentramkan wilayah tersebut maka ia akan di angkat
sebagai penguasa wilayah tersebut.
KGPH Kusumoyudho dalam
melaksanakan tugas mengamankan situasi wilayah Bagelen dibantu oleh
Raden Ngabehi Resodiwiryo. Keberhasilan Raden Ngabehi Resodiwiryo dalam
menjalankan tugasnya mendapat penghargaan dan kepercayaan dari KGPH
Kusumoyudho sehingga diangkat menjadi Bupati Tanggung yang wilayah
kekuasaannya berada di sebelah timur Sungai Bogowonto. Raden Ngabehi
Resodiwiryo kemudian bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Cokrojoyo.
Setelah
selesai perang Diponegoro, pemerintah Belanda meminta seluruh wilayah
Bagelen. Di bawah pimpinan Residen A I Ruitenback, wilayah Bagelen
dijadikan karisidenan. Kemudian oleh komisaris van Sevenhoven,
Karisidenan Bagelan dibagi menjadi empat daerah kadipaten (ada juga yang
menyebutkan lima) dengan para adipati penguasa yaitu :
- K.R. Adipati Cokrojoyo sebagai penguasa di Kadipaten Brengkelan yang wilayah kekuasaannya di daerah Bagelen timur
- K.R. Adipati Notonagoro Sawunggalih II sebagai penguasa di Kadipaten Semawung (Semawon) atau Kutoarjo yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Bagelen selatan
- K.R. Adipati Mangunnagoro sebagai penguasa Kadipaten Karangduwur yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Bagelen utara
- K.R. Adipati Arung Binang sebagai penguasa Kadipaten Ngaran yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Bagelen Barat
Setelah wilayah bagian (afdeling) Bagelen dan Banyumas diserahkan oleh Keraton Surakarta pada 18 Desember 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan pembentukan kedua wilayah bagian itu sebagai karesidenan melalui surat keputusan. Khusus untuk Residen Bagelen diperbantukan oleh dua orang asisten Residen yang berkedudukan di Ungaran dan Petanahan dengan pangkat Patih. Residen Bagelen ini akan ditempatkan di Brengkelan. Seorang Komis-Ontvanger serta seorang Sekretaris Landraad juga akan ditunjuk untuk bertugas di sana.
Tidak hanya itu, Pemerintah Hindia Belanda juga perlu mengawasi kondisi keamanan Bagelen secara intens. Karena itu ditempatkan dua orang asisten residen yang salah satunya berwenang menangani masalah kepolisian. Di samping itu, Belanda juga mengangkat seorang Kontrolir yang berkedudukan di Kutoarjo.
Dengan surat keputusan Belanda itu, Cokro Joyo secara langsung ditetapkan sebagai Bupati Brengkelan. Namun sebelum pelantikan, ia mengusulkan agar nama daerah itu diganti menjadi Purworejo. Baginya, Brengkelan berasal dari kata mrengkel yang artinya ngeyel, suka mendebat atau menentang. Sementara Purworejo berasal dari kata purwo yang berarti awal atau wiwitan dan rejo yang berarti kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Pemerintah Hindia Belanda dan Raja Surakarta sepakat dengan usulan tersebut. Semenjak 18 Desember 1830 ditetapkanlah nama Kabupaten Purworejo dengan KRT Cokro Joyo sebagai bupati pertama yang dilantik dan diambil sumpahnya oleh Penghulu Kabupaten, KH Baharudin. Sebagai bupati, Cokro Joyo diberi gelar Raden Adipati Aryo Cokronagoro I oleh Susuhunan Paku Buwono VI. Namun mengingat Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda baru diterbitkan delapan bulan kemudian, secara definitif RAA Cokronagoro I baru bertugas sebagai Bupati Purworejo mulai 22 Agustus 1831
Sumber :
http://www.purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=67
http://purworejo-cokronagoro.blogspot.co.id/2010/01/kisah-cokronagoro.html