Wednesday, May 31, 2017

SAWUNGGALIH

Saya cukup penasaran dengan nama "Sawunggalih". Siapakah atau apakah gerangan Sawunggalih itu sehingga identik dengan Kutoarjo?  Setidaknya di Kutoarjo nama Sawunggalih mempunyai kesan pasaran. Maaf bukan merendahkan. Nama tersebut digunakan sebagai nama sekolah (SMK Sawunggalih, SD Sawunggalih (?)), politeknik ( Politeknik Sawunggalih Aji), Hotel (Hotel Sawunggalih), atau nama kereta api (K.A. Sawunggalih). Terlihat begitu dihormatinya Sawunggalih.

Tidak begitu banyak referensi mengenai Sawunggalih ini (bagi saya terutama). Dalam pelajaran sejarah mulai dari SD sampai SMA, tidak pernah sekalipun disinggung nama ini. Googling di internetpun yang banyak muncul adalah informasi Kereta Api.

Dari beberapa sumber, akhirnya saya dapatkan bahwa Sawunggalih merupakan nama seorang Adipati pertama di wilayah Kutoarjo. Koreksi saya apabila salah.

Kutoarjo sendiri tidak dapat dilepaskan dari  Purworejo, yang sekarang merupakan Kabupaten yang menaunginya. Berikut ini merupakan asal mula Purworejo dan didalamnya tentunya terdapat juga asal muasal Kadipaten Kutoarjo. Sekali lagi koreksi saya bila ada yang salah.

Dasar hari jadi Purworejo adalah dengan ditemukan Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di tepi Sungai Bogowonto, Desa Borowetan, Banyuurip, Purworejo pada tahun 1890.. Dalam prasasti tersebut termuat pematokan tanah Shima (perdikan) untuk Desa Kayu Ara Hiwang yang diberikan oleh Rakai Wanua Poh Sala Putra Ratu Bajra pada 5 Paro Gelap 823 Saka atau 5 Oktober 901 Masehi. Ratu Bajra merupakan orang kedua di zaman Mataram kuno.

Konon pada waktu itu bumi Kayu Ara Hiwang mulai dibangun dan dipimpin Mpu Sanghrama Surandra atas restu Raja Sri Maharaja watukura Dyah Balitung. Atas keberhasilannya membangun tempat peribadatan, Dyah Balitung merasa bangga dan memberikan penghargaan tanah perdikan bebas pajak.

Purworejo dahulu merupakan suatu wilayah yang terkenal dengan sebutan Brengkelan  termasuk wilayah karisidenan Bagelen. Wilayah Bagelen pada abaf XIX merupakan wilayah Negara Agung Kasunanan Surakarta.

Kondisi wilayah Bagelen yang kurang Kondusif mendorong pihak Belanda untuk menentramkan wilayah tersebut dengan meminta bantuan kepada Paku Buwono VI. Atas perintah Paku Buwono VI maka dipilihlah Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudho sebagai panglima untuk membantu Belanda menentramkan wilayah Bagelen. Pihak Belanda menjanjikan kepada KGPH Kusumoyudho apabila berhasil menentramkan wilayah tersebut maka ia akan di angkat sebagai penguasa wilayah tersebut.

KGPH Kusumoyudho dalam melaksanakan tugas mengamankan situasi wilayah Bagelen dibantu oleh Raden Ngabehi Resodiwiryo. Keberhasilan Raden Ngabehi Resodiwiryo dalam menjalankan tugasnya mendapat penghargaan dan kepercayaan dari KGPH Kusumoyudho sehingga diangkat menjadi Bupati Tanggung yang wilayah kekuasaannya berada di sebelah timur Sungai Bogowonto. Raden Ngabehi Resodiwiryo kemudian bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Cokrojoyo.

Setelah selesai perang Diponegoro, pemerintah Belanda meminta seluruh wilayah Bagelen. Di bawah pimpinan Residen A I Ruitenback, wilayah Bagelen dijadikan karisidenan. Kemudian oleh komisaris van Sevenhoven, Karisidenan Bagelan dibagi menjadi empat daerah kadipaten (ada juga yang menyebutkan lima) dengan para adipati penguasa yaitu :


  1. K.R. Adipati Cokrojoyo sebagai penguasa di Kadipaten Brengkelan yang wilayah kekuasaannya di daerah Bagelen timur

  2. K.R. Adipati Notonagoro Sawunggalih II sebagai penguasa di Kadipaten Semawung (Semawon) atau Kutoarjo  yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Bagelen selatan

  3. K.R. Adipati Mangunnagoro sebagai penguasa Kadipaten Karangduwur yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Bagelen utara

  4. K.R. Adipati Arung Binang sebagai penguasa Kadipaten Ngaran yang  wilayah kekuasaannya meliputi daerah Bagelen Barat

Setelah wilayah bagian (afdeling) Bagelen dan Banyumas diserahkan oleh Keraton Surakarta pada 18 Desember 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan pembentukan kedua wilayah bagian itu sebagai karesidenan melalui surat keputusan. Khusus untuk Residen Bagelen diperbantukan oleh dua orang asisten Residen yang berkedudukan di Ungaran dan Petanahan dengan pangkat Patih. Residen Bagelen ini akan ditempatkan di Brengkelan. Seorang Komis-Ontvanger serta seorang Sekretaris Landraad juga akan ditunjuk untuk bertugas di sana.

Tidak hanya itu, Pemerintah Hindia Belanda juga perlu mengawasi kondisi keamanan Bagelen secara intens. Karena itu ditempatkan dua orang asisten residen yang salah satunya berwenang menangani masalah kepolisian. Di samping itu, Belanda juga mengangkat seorang Kontrolir yang berkedudukan di Kutoarjo.

Dengan surat keputusan Belanda itu, Cokro Joyo secara langsung ditetapkan sebagai Bupati Brengkelan. Namun sebelum pelantikan, ia mengusulkan agar nama daerah itu diganti menjadi Purworejo. Baginya, Brengkelan berasal dari kata mrengkel yang artinya ngeyel, suka mendebat atau menentang. Sementara Purworejo berasal dari kata purwo yang berarti awal atau wiwitan dan rejo yang berarti kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Pemerintah Hindia Belanda dan Raja Surakarta sepakat dengan usulan tersebut. Semenjak 18 Desember 1830 ditetapkanlah nama Kabupaten Purworejo dengan KRT Cokro Joyo sebagai bupati pertama yang dilantik dan diambil sumpahnya oleh Penghulu Kabupaten, KH Baharudin. Sebagai bupati, Cokro Joyo diberi gelar Raden Adipati Aryo Cokronagoro I oleh Susuhunan Paku Buwono VI. Namun mengingat Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda baru diterbitkan delapan bulan kemudian, secara definitif  RAA Cokronagoro I baru bertugas sebagai Bupati Purworejo mulai 22 Agustus 1831

Sumber :
http://www.purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=67
http://purworejo-cokronagoro.blogspot.co.id/2010/01/kisah-cokronagoro.html

Tri Coollzz

About Tri Coollzz

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :